Sabtu, 01 Juni 2013

Bunda Maria Sebagai Model



Bunda Maria Sebagai Model
Pendengar dan Pelaksana Firman Allah


Berbicara tentang Bunda Maria, tetap merupakan sebuah tema yang menarik, khususnya dalam kalangan Gereja Katolik. Bagi umat Katolik, Bunda Maria adalah ibu rohani yang selalu menyertai anak-anaknya dalam perjuangan hidup sehari-hari. Bunda Maria, dalam kehidupan iman umat Katolik memiliki peran yang istimewa. Maria telah menjadi pengantara dalam mewujudkan rencana Allah menurunkan Putra-Nya ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia. Ia mendapat karunia luar biasa yang tidak dimiliki manusia lain.

            Maria telah dipilih Allah untuk mengandung, melahirkan, dan membesarkan Putra-Nya Yesus. Maria memiliki beberapa keistimewaan dan sifat-sifat utama dalam dirinya yang menyebabkan ia terpilih untuk melaksanakan peran besar penyelamatan umat manusia. Melalui penyerahan diri secara total  dan kesanggupan iman, maka Sabda Allah menjadi daging dan kehendak Allah dapat terlaksana melalui suatu proses manusiawi yang dapat diterima oleh akal pikiran manusia. Maria adalah pengantara rahmat Allah bagi manusia.

            Karya penyelamatan agung Allah terlaksana melalui Maria, karena ia adalah pendengar dan pelaksana Firman Allah yang baik. Hal ini terungkap secara jelas sejak kunjungan malaikat Gabriel hingga peristiwa pentekosta. Sebagai pendengar yang baik, dengan kerendahan hatinya, Maria mendengar dengan saksama setiap perkataan malaikat. Dengan penuh kesadaran pula Maria mengatakan kesediaannya untuk melaksanakan karya agung itu, melalui kalimat : ”Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu”(bdk. Luk 1:37).

            Kalimat singkat namun menentukan ini, merupakan suatu penyerahan total Maria terhadap rencana Tuhan. Persetujuan Maria dengan mengatakan ”Ya”, merupakan sebuah jawaban yang sudah lama ditunggu-tunggu dalam sejarah umat manusia sejak Adam dan Hawa melakukan dosa. Rencana Tuhan yang berbeda dengan rencana manusia, diterima oleh Maria. Penyerahan total ini, merupakan suatu babak baru dalam hubungan manusia dengan Allah yang sebelumnya rusak karena dosa. Dalam jawaban Maria terdapat keputusan definitif seorang manusia dalam menanggapi panggilan Allah secara utuh. Keutuhan itu tidak berangkat dari kemampuan pribadi, namun berakar pada sikap taat, patuh, dan hormat dalam kebebasan yang bertanggung jawab atas kehendak Allah yang dinyatakan kepadanya.

            Spiritualitas yang telah dihidupi dan ditunjukkan Maria, masih sangat sulit ditemukan dalam diri umat beriman zaman ini. Memang banyak umat beriman yang terdorong untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan kerohanian, dan masih banyak juga umat beriman yang belum memiliki kesadaran penuh akan hal ini. Kenyataan menunjukkan bahwa, banyak umat beriman belum menghayati dan melaksanakan Firman Allah secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti dari pola hidup umat beriman di tengah masyarakat.  Banyak mengalami penyimpangan pola hidup, padahal aktif dalam kegiatan menggereja. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa umat beriman belum memberikan perhatian penuh dalam kahidupan menggereja. Umat beriman mendengar pembacaan Firman Tuhan, tapi tidak mendengarkan secara baik. Pembacaan Firman Tuhan dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa dalam peribadatan maupun dalam perayaan Ekaristi. Firman Tuhan yang diperdengarkan, dipandang sebagai salah satu ritus dalam kegiatan tersebut. Melihat kenyataan demikian yang terjadi di kalangan umat beriman, maka sangatlah perlu untuk ditindaklanjuti. 

Umat beriman perlu diarahkan untuk mengkaji kembali apa yang telah dialami, sehingga kenyataan buruk ini tidak berlarut-larut. Dalam situasi ini, tokoh Maria perlu diangkat dan didalami spiritualitasnya, untuk memperoleh warna baru. Bunda Maria harus dijadikan model dalam mendengarkan dan melaksanakan Firman Tuhan. Melalui cara ini, umat beriman bercermin pada Bunda Maria, yang telah dengan setia dan penuh kerendahan hati mendengarkan dan melaksanakan Firman Allah yang berpuncak pada karya keselamatan.
           
            Bunda Maria telah mendengarkan dan melaksanakan Firman Allah secara baik. Hal ini terungkap secara jelas sejak peristiwa kunjungan Malaikat Tuhan hingga wafat dan kebangkitan Yesus, dan bahkan berlanjut hingga peristiwa pentekosta. Maria telah mengambil bagian secara penuh dalam karya keselamatan. Karya tersebut dapat terlaksana karena Maria berserah diri pada kehendak Allah, dan karena memiliki kepekaan terhadap sapaan Tuhan. Kualitas pendengaran dan kepekaan menanggapi Firman Allah melebihi manusia pada umumnya.

            Yesus pernah menegaskan bahwa: ”Menjadi saudara-saudari dan ibu-Nya, berarti mendengarkan dan melaksanakan Firman Allah”. Penegasan ini disampaikan Yesus ketika Ia mengajar banyak orang yang mengerumuni-Nya. Dengan penegasan ini, Yesus tidak bermaksud menolak Maria, tetapi menegaskan peran Maria yang telah melahirkan-Nya. Maria telah menjadi ibu Yesus bukan terutama karena ia telah mengandung dan melahirkan-Nya, melainkan karena Maria telah mendengarkan dan melaksanakannya. Maria telah dengan setia mendengarkan dan melaksanakan Firman Allah.

            Dalam hidup religius dan dalam Kerajaan Allah, bukan hubungan darah yang menentukan, melainkan kehendak Tuhan. Hubungan antar manusia dalam Kerajaan Allah ditentukan oleh tindakan ”melaksanakan kehendak Tuhan atau tidak”. Bunda Maria telah menjadi contoh atau teladan yang pertama dan utama untuk panggilan itu. Maria adalah murid pertama Yesus, Anaknya yang patuh-setia kepada kehendak Allah.


Katekis Sebagai Motivator Bagi Umat



Katekis Sebagai Motivator Bagi Umat
Dalam Menerima Sakramen Rekonsiliasi

Allah mencintai umat manusia dan mau menyelamatkan seluruh hidupnya (1Tim 2:4).  Oleh karena itu, setelah manusia pertama Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa (Kej 3), Allah membuat rencana keselamatan baru. Ia memanggil Abraham, Musa, Daud, dan para nabi untuk mempersiapkan jalan bagi kedatangan Putra-Nya. Setelah semua persiapan dilakukan, akhirnya Allah berbicara kepada umat manusia lewat Putra-Nya sendiri (Ibr 1:1-2). Cinta kasih Allah  itu paling nyata terwujud dalam diri Yesus Kristus, dalam Sabda dan karya-Nya dan dalam penyerahan diri-Nya demi keselamatan umat manusia.
            Bila membaca Injil, segera ditemukan bahwa Yesus mencintai semua orang. Jika mereka sakit, Ia menyembuhkan; jika mereka dirasuki roh jahat, Ia membebaskan mereka. Selama hidup-Nya, Ia berkeliling berbuat baik dan menyembuhkan semua orang sakit. Ia mewartakan Injil, berkhotbah, mengajar, dan menyembuhkan. Hal ini menandakan bahwa penyembuhan itu memang penting bagi Yesus dan orang-orang  pada waktu itu. Yesus Kristus itu tetap sama, baik kemarin, hari ini, dan sampai selama-lamanya (Ibr 13:8). Yesus Kristus yang sama itu masih tetap bekerja sampai sekarang di dalam Gereja-Nya, dan dapat berjumpa dengan-Nya secara pribadi melalui sakramen-sakramen Gereja.
            Jalan menuju perubahan hidup ke arah yang lebih baik dan benar adalah pertobatan. Melalui pertobatan, pertama sekali umat beriman Katolik akan menyadari kesalahan dan kekeliruan. Sesudahnya, berbalik pada sikap dan tingkah laku yang baik dan benar. Dalam hubungan dengan itu, umat beriman harus menjadikan Yesus sebagai acuan utama bagi setiap niat dan upaya untuk bertobat. Oleh karena itu, kontak dengan Pribadi Kristus yang menjelma menjadi manusia, sedikit pun tidak dapat diabaikan atau dilewatkan oleh siapa saja yang ingin meningkatkan mutu kepribadiannya dan memajukan kualitas hidupnya. Tanpa sentuhan atau kontak dengan Kristus, pertobatan akan menemui jalan buntu dan kehilangan roh untuk berdaya dan berbuah bagi pertumbuhan dan kemajuan hidup manusia.
            Sakramen Tobat adalah sakramen yang mendamaikan. Melalui sakramen ini, hubungan antara Allah dan manusia dipulihkan kembali. Tindakan perdamaian itu mencapai puncaknya dalam sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus. Perdamaian  itu terjadi dalam Gereja, yang merupakan Tubuh Mistik Kristus. Tobat menjadi unsur penting dalam kehidupan umat beriman, supaya dapat mencapai taraf kedewasaan Kristus dalam kepenuhannya (Ef 4:13), seorang beriman Katolik harus dapat terus-menerus mati terhadap dosa. Berkembang sebagai orang beriman, mengandaikan harus meninggalkan dosa. Kematian terhadap dosa yang telah terjadi dalam permandian, harus diteruskan dan dihayati sepanjang hidup. Dengan demikian menjadi jelas, tobat itu bukan saja syarat dan persiapan untuk menjadi murid Kristus, melainkan suatu kegiatan yang tetap, yang harus meresap dalam seluruh hidup umat beriman Katolik.
            Sakramen Tobat telah ditegaskan oleh Yesus, ketika Ia hadir ke dunia untuk menanggung dosa-dosa umat manusia. Hal ini terbukti ketika Ia tampil untuk mewartaka Kerajaan Allah. Yesus menginginkan semua manusia memperoleh keselamatan. Ia hadir mengalami kerapuhan manusia. Rasul Paulus pernah berkata: “Dia yang tak mengenal dosa dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia, kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor 5:21). Dengan jalan dibenarkan oleh Allah, secara khusus Sakramen Tobat menjadi sakramen penyembuhan. Manusia dibebaskan dan disembuhkan dari segala sesuatu yang memisahkan dan bahkan memutuskan hubungannya  dengan Allah.
                Gereja juga memberikan penekanan khusus bagi Sakramen Tobat. Gereja menegaskan bahwa mereka yang menerima Sakramen Tobat memperoleh pengampunan dari Allah dan sekaligus didamaikan dengan Gereja. Selanjutnya dikatakan bahwa karena rahmat Allah, orang sadar akan kemalangannya sendiri dan menyatakan kelemahannya di hadapan Allah. Dengan mengaku diri sebagai orang berdosa dan menyerahkan diri kepada Allah, umat beriman akan memperoleh belaskasihan Allah, sebab keselamatan bukan hasil usaha sendiri tetapi pemberian Allah.
            Sakramen Tobat itu sangat penting bagi kehidupan umat beriman Katolik karena melalui sakramen ini hubungan manusia dengan Tuhan dipulihkan kembali. Namun dalam kehidupan sehari-hari, ditemukan kenyataan yang berbeda di lingkungan umat beriman. Praktek pengakuan dosa belum dilaksanakan sepenuhnya oleh umat beriman. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi situasi ini. Faktor-faktor tersebut, antara lain: menganggap pelayan Sakramen Tobat itu juga manusia yang sama dengan dirinya, merasa diri tidak berdosa, menganggap dirinya tidak memiliki dosa yang lain, ada perasaan malu terhadap pelayan Sakramen Tobat, memilih-milih pelayan Sakramen Tobat dalam mengaku dosa, menganggap penitensi itu merepotkan, masih ingin menikmati hidup, takut tidak diampuni karena sudah terlalu banyak dosanya, dan takut dosanya diceritakan kepada orang lain.
            Melihat kenyataan yang terjadi dalam kehidupan umat tersebut, maka sangat perlu untuk ditindaklanjuti, agar umat beriman memiliki pemahaman yang benar. Tugas untuk memulihkan situasi ini, bukan hanya tanggung jawab kaum hierarki, melainkan juga menjadi tanggung jawab seluruh umat beriman. Dan umat beriman yang telah dipersiapkan secara khusus untuk tugas ini adalah katekis. Seorang katekis harus tampil dalam situasi ini untuk menunjukkan kepada umat beriman, betapa pentingnya Sakramen Tobat dalam kehidupan menggeraja. Ia menjadi teladan bagi umat, baik melalui kata maupun tindakan. Dengan demikian, akan timbul kesadaran dalam diri umat beriman untuk menghayati makna Sakramen Tobat serta berupaya mempraktekkannya di dalam kehidupan sehari-hari. 
           

Semangat Pelayanan Ibu Teresa dari Kalkuta



Semangat Pelayanan Ibu TeresaA dari Kalkuta
Sebagai Inspirasi Bagi Kaum Remaja

            Yesus selalu mengingatkan para murid-Nya untuk bersikap sebagai “yang paling rendah dari semua dan sebagai pelayan dari semua” (bdk. Mrk 9:35). Menjadi pelayan berarti ikut melayani seperti Kristus, karena Ia sendiri adalah pelayan. Dalam mengajarkan Kerajaan Allah, Ia tidak hanya berbicara tetapi juga menunjukkan dengan keteladanan-Nya karena demikianlah kehendak Bapa-Nya (bdk. Yoh 4:34). Walaupun Ia sebagai Guru dan Tuhan, namun Ia mau melakukan pekerjaan yang paling rendah sekalipun, yakni membasuh kaki para murid-Nya. Spiritualitas pelayanan Yesus ini, hendaklah tertanam dalam diri setiap orang Kristen dan sangat penting untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
            Berdasarkan keteladanan Yesus ini, Gereja pun memiliki ciri pelayanan. Ciri pertama adalah ciri religious. Pelayanan kristiani harus berdasar pada kasih kepada sesama, sebab Allah telah menciptakan manusia sesuai dengan citra-Nya sendiri. Ciri kedua adalah kesetiaan kepada Kristus sebagai Guru dan Tuhan. Yesus menghendaki agar umat beriman berbuah banyak, karena dengan demikian akan tampil sebagai murid-murid-Nya. Ciri ketiga adalah mengambil bagian dalam sengsara dan penderitaan Kristus, yang tetap senasib dengan semua orang yang menderita. “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (bdk. Mat 25:40). Yesus Kristus adalah saudara semua orang, khususnya mereka yang malang dan miskin. Maka pelayanan Gereja pun tertuju terutama kepada mereka yang paling membutuhkan perhatian. Ciri keempat adalah kerendahan hati. Gereja tidak boleh membanggakan pelayanannya, tetapi harus mengakui diri sebagai seorang hamba. Kerendahan hati bukan merupakan sesuatu yang amat istimewa dalam hidup, melainkan sikap realistis yang mengakui segala keterbatasan manusia, termasuk  juga pelayanan Gereja.
Yesus juga pernah bersabda: “Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (bdk. Mrk 10:45). Itulah sikap yang dahulu diharapkan Yesus kepada murid-murid-Nya untuk dilakukan, dan sekarang ini harapan itu diletakkan di atas pundak setiap umat beriman kristiani. Semua orang adalah saudara, maka harus saling membantu dalam mencari jalan dan arah hidup. Rasul Paulus berkata: “Tidak ada orang Yahudi atau Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Yesus Kristus” (bdk. Gal 3:28). Membedakan orang atau golongan tidak sesuai dengan semangat Yesus sendiri. Dalam pandangan Kristen, melayani itu tidak merendahkan, melainkan mengangkat orang karena membuatnya sama dengan manusia yang lain di dalam Kristus.
            Pelayanan harus berdasar dan bersumber pada kehendak Yesus. Yesus telah menunjukkan hal ini ketika Ia tampil di tengah dunai. Ia melayani tanpa membedakan obyek pelayanan-Nya. Dan perhatian-Nya lebih diarahkan kepada mereka yang menderita dan yang mengharapkan pertolongan. Sebab mereka adalah kelompok orang yang tidak mempunyai dan tidak bersuara, dan hanya pasrah pada keadaan yang ada. Dalam kehidupan di tengah dunia, mereka telah mendapatkan ketidakadilan, maka Gereja menjadi sandaran bagi mereka. Gereja perlu tampil meneruskan misi Yesus untuk keselamatan semua orang beriman, dengan tidak membedakan tingkat atau pun golongan. Mereka perlu diperhatikan dan dibela karena mereka juga adalah citra Allah yang sama dengan kita.
Hal serupa telah ditunjukkan oleh Santa Teresa dari Kalkuta. Ia mengatakan bahwa: “Kasih itu harus diungkapkan melalui memberi, sebab itu adalah hal yang sangat berharga. Kebahagiaan tercapai kalau ada semangat berbagi dan mau belajar untuk berbagi. Allah begitu mencintai dunia sehingga menyerahkan Putra-Nya sendiri untuk menyelamatkan umat manusia. Dan Putra Allah itu menyerahkan hidup-Nya sendiri sebagai korban keselamatan. Bahkan, sampai sekarang  Tuhan Yesus masih memberi diri bagi kita sebagai roti kehidupan, agar kelaparan kita akan kasih dikenyangkan dan dipuaskan, sehingga kehidupan ilahi kita terima. Bila sudah demikian, apa yang dapat kita berikan sebagai ucapan syukur atas segala kebaikan Allah kepada kita. Yang bisa kita berikan tidak lain adalah kasih.  Kasih tersebut diwujudkan dalam pelayanan. Memang, pelayanan kasih harus diwujudkan dalam pelayanan kepada mereka yang termiskin, sebab dalam diri mereka Yesus sendirilah yang melayani”.
Ia tidak hanya berbicara, tetapi juga berbuat. Tindakan memberi diungkapkan melalui pelayanan. Contoh tindakan pelayanan itu adalah mengajari anak-anak yang kurang mampu, menjaga dan merawat orang sakit dan tindakan sosial lainnya. Setiap orang diajaknya untuk senantiasa mengulurkan tangannya untuk melayani dan membuka hati. Melalui pelayanannya, Santa Teresa memberikan hidupnya sendiri, sebagaimana Tuhan memberikan pelayanan kasih kepada kita dengan memberikan diri sepenuhnya. Dalam karya pelayanannya, ia tidak membedakan apa dan siapa. Namun, penekanannya adalah pelayanan tersebut harus diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan. Dan hal ini telah dilakukannya dalam karya pelayanannya. Ia memberikan perhatian khusus kepada kaum miskin dan mereka yang mengalami penindasan.

            Sesungguhnya pelayanan itu merupakan hal yang amat penting dalam kehidupan menggereja. Kenyataan yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahwa umat kurang memiliki penghayatan akan hal ini. Praktek pelayanan banyak mengandung motif  yang tidak mendatangkan efek baik. Akibatnya banyak orang miskin dan malang terabaikan atau bahkan terlupakan. Mereka tetap hidup dalam situasinya tanpa mengalami kasih Tuhan. Sebagai orang dewasa, hal tersebut kurang mendapat perhatian, apalagi kaum remaja, yang belum banyak mengetahui tentang hal ini. Kaum remaja adalah kelompok orang yang sedang dalam tahap perkembangan untuk mencari identitas diri yang sesungguhnya. Pelayanan belum merupakan bagian sepenuhnya dari hidup Katolik. Oleh karena itu, sangat perlu ditanamkan kesadaran dalam diri mereka serta perlu dimotivisir agar dapat diterima dan dihidupi.
            Berhadapan dengan persoalan yang terjadi dalam diri kaum remaja, maka  sangat perlu diambil langkah yang tepat. Salah satu cara yang tepat adalah kaum remaja diarahkan untuk melihat dan mengalami spiritualitas Santa Teresa dari Kalkuta. Ia berasal dari keluarga yang memiliki kepedulian akan nasib sesama yang menderita. Ia tinggal di daerah konflik yang pernah di kausai oleh Turki dan Yugoslavia. Akibat konflik tersebut, banyak orang menjadi korban. Korban paling nyata adalah orang-orang kecil. Situasi ini membuatnya merasakan panggilan Allah untuk mewartakan Kerajaan Allah. Demikian juga ketika berada di Kalkuta, situasi yang sama juga dialaminya. Dalam situasi ini, Santa Teresa menerima panggilan ilahi untuk melayani mereka yang termiskin dalam pelayanan kasih.
            Karya pelayanan dilaksanakan dengan penuh iman. Ia membangun kasih yang tidak membedakan antara yang satu dengan yang lain. Walaupun ia melayani mereka yang miskin, namun ia tidak memusuhi yang kaya dan berkuasa. Selain itu, kadang orang lain menjalani persahabatan dengannya demi kepentingan tertentu, namun ia tidak mempedulikannya. Apa pun agamanya, bahkan mereka yang komunis dan atheis pun diajaknya bersahabat. Ia memandang semua orang sebagai anak-anak Allah. Maka, tidak mengherankan Paus Yohanes Paulus II menggambarkan figur Santa Teresa bagai orang Samaria yang baik hati (bdk. Luk 10-25-37). Kasih menjadi nyata, menurut Santa Teresa, jika orang sanggup dan berani terluka. Tidak ada kasih sejati, jika tidak ada kesediaan untuk berkorban, untuk memberi  diri bagi sesama.