PERANAN SEKOLAH
DALAM MENINGKATKAN HUBUNGAN
SOSIAL SISWA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Peranan Sekolah
Sekolah adalah sebuah lembaga
formal yang mendidik orang-orang demi tercapainya kecerdasan berpikir dan
bermoralitas.[1]
Orang-orang yang terhimpun dalam lembaga akademik ini, berasal dari latar
belakang yang berbeda-beda. Ada yang berasal dari keluagra yang tingkat
perekonomiannya sudah mapan, sebagian dari perekonomian menengah, dan bahkan
ada yang berasal dari keluarga dengan tingkat perekonomian kelas bawah.
Latar belakang lain, misalnya
ada yang berasal dari desa dan yang lainnya sudah lama menetap di perkotaan.
Hal-hal seperti yang disebutkan di atas turut berpengaruh pada perkembangan
kepribadian seseorang dalam kaitan dengan hubungan sosial, seorang dengan yang
lainnya.
Fakta menyebutkan bahwa dalam
kehidupan sehari-hari, kontak sosial juga sangat dipengaruhi oleh hal-hal
seperti disebutkan di atas. Dapat dikatakan bahwa sebuah korelasi dalam
kehidupan sosial turut dipengaruhi oleh latar belakang seseorang. Ada yang
mempunyai relasi begitu kental dengan orang lain karena berasal dari kampung
yang sama. Ada yang dekat dengan sesamanya yang lain, karena berasal dari
tingkat perekonomian yang sama mapannya. Dengan demikian, segala sesuatu dapat
dilakukan secara bersama-sama karena kecocokan tersebut.
Berhadapan dengan masalah
sosial ini, sekolah sebagai lembaga akademik harus serius dalam
memperhatikan hal ini. Sekolah bukan
hanya menjadi sarana demi tercapainya kaum cerdik pandai, melainkan juga
mendidik orang agar bisa bermoral secara baik dan benar, dan bisa
bersosialisasi dengan yang lain. Sekolah sebagai lembaga formal, harus
betul-betul menanamkan nilai-nilai moral untuk saling menghargai satu sama
lain. Sekolah juga harus merangkul setiap anak didiknya dengan tidak memilih
kasih. Anak didik yang berasal dari latar belakang yang berbeda di atas, harus
diberikan perhatian yang sama. Setiap mereka harus mempunyai hak dan kewajiban
yang sama. Dengan demikian, sekolah telah memainkan perannya secara tepat dan
benar.
1.2
Hubungan Sosial Siswa
Manusia adalah makhluk sosial.
Karena kesosialannya, dan berdasarkan kodratnya, maka ia tidak pernah hidup
seorang diri. Manusia harus membutuhkan orang lain agar bisa berinteraksi. Memerlukan orang lain adalah sebuah kebutuhan
mendasar dalam hidup manusia, demi tercapainya kebutuhan yang lain. Upaya
manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dilaksanakan melalui suatu
proses yang disebut interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan timbal
balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok
dengan kelompok dengan masyarakat.[2]
Peserta didik dalam sebuah
lembaga pendidikan pun harus mengalami dan melalui hal yang sama. Dalam
menjalankan tugas utamanya ia juga harus berinteraksi dengan orang lain baik
itu dengan para pendidik, maupun dengan sesama rekan seperjuanganya. Ia harus
belajar untuk mengenal siapakah para pendidiknya, dan siapakah rekan
sekerjanya. Dengan demikian, ia akan semakin pasti dalam menjalankan aktivitas
keseharianya. Karena di dalam interaksi tersebut, ia memperoleh banyak nilai
yang bisa membangun keperibadianya.
Nilai-nilai dimaksud adalah
misalnya; pertama, ia disadarkan
bahwa manusia harus membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Tidak ada satu orang
pun yang hidup sendirian. Kedua,
dengan berelasi dengan orang lain, ia belajar mengenal dan memahami karakter
kepribadian orang lain. Ketiga, dengan
berelasi dengan orang lain, ia semakin diperkaya oleh kelebihan yang dimiliki
orang lain. Keempat, dengan berelasi
dengan rekan seperjuangan, ia belajar mengenal dan memahami kepribadiannya,
khususnya pada tingkat usianya, dengan berbagai persoalan dan konsekuensi yang
harus dihadapinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengantar
Ada beberapa tokoh yang hadir
dengan pola pikir yang cemerlang. Pola pikir atau gagasan yang mereka munculkan
kiranya mendukung dan memberikan manfaat bagi kita dalam kehidupan sosial. Para
tokoh dan pola pikir mereka itu, adalah seperti di bawah ini.
2.2. Para Tokoh Beserta Teorinya
2.2.1 Aguste Comte[3]
Titik
berangkat teorinya adalah Revolusi Prancis. Menurutnya, reorganisasi
masyarakat hanya dapat berhasil, jika orang mengembangkan cara berpikir yang
baru tentang masyarakat. Jika ingin menciptakan masyarakat yang adil, maka
harus ada kesepakatan tentang dasar-dasarnya. Dasar-dasar itu hanya dapat
dicapai apabila ada suatu metode yang dapat diandalkan sehingga hasil-hasilnya
meyakinkan setiap orang.
Menurutnya, ada tiga tahap
perkembangan cara berpikir. Pertama,
tahap teologis. Pada tahap ini orang suka dengan pertanyaan yang tidak dapat
dipecahkan, yaitu tentang hal-hal yang tidak diamati. Kedua, tahab metafisis. Pada tahab ini jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang sama dicari jawabannya pada hal-hal abstrak yang
diibaratkan sebagai essensi (hakikat) atau eksistensi (keberadaan). Ketiga, tahab positif. Pada tahab ini
manusia mulai mencari jawaban yang tidak mutlak dengan gejala-gejala yang
muncul.
2.2.2 Emile Durkheim[4]
Pola
pikirnya terpengaruh oleh tradisi para pemikir bangsa Prancis dan Jerman. Ia sependapat
dengan Montesquieu, bahwa orang-orang memerlukan aturan kolektif bagi perilaku yang mereka interaksikan adalah
proses pendidikan. Dalam kaitan dengan solidaritas sosial, ia mengatakan bahwa
pembagian kerja yang berkembang pada
masyarakat tidak mengakibatkan disintegrasi, tetapi justru meningkatkan
solodaritas karena bagian-bagian dari masyarakat menjadi saling tergantung satu
sama lain. Ia membagi dua tipe utama solidaritas. Pertama, solodaritas mekanis. Tipe solidaritas ini didasarkan atas
persamaan. Dalam tipe masyarakat ini, semua masyarakat mempunyai kesadaran
kolektif yang sama. Kedua,
solidaritas organis. Tipe ini didasarkan atas keragaman fungsi-fungsi
kepetingan keseluruhan. Setiap orang memiliki cirinya masing-masing. Oleh
karena itu, ada saling ketergantungn yang besar sehingga mengharuskan adanya
kerja sama.
2.2.3 Karl Marx[5]
Sumbangan
Karl Marx bagi perkembangan ilmu sosial terletak pada teori mengenai kelas. Ia
mengatakan bahwa sejarah masyarkat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas.
Ia membagi kelas itu menjadi dua bagian. Pertama,
kaum borjuis (Kaum kapitalis), adalah kelas yang terdiri dari orang-orang yang
menguasai alat-alat produksi dan modal. Kedua,
kaum proletar, adalah kelas yang terdiri dari orang-orang yang tidak mempunyai
alat produksi dan modal, sehingga diekploitasi untuk kepentingan kaum
kapitalis.
Menurutnya,
pada sustu saat kaum proletar akan menyatakan kepentingan bersama mereka,
sehingga bersatu dan memberontak terhadap kaum kapitalis. Mereka akan
memperoleh kemenangan, yang akan mengakibatkan terhapusnya pertentangan kelas.
2.2.4 Herbert Spencer[6]
Menurutnya,
fakta pertama yang penting dalam proses evaluasi sosial adalah peningkatan
jumlah penduduk. Pertumbuhan ini tergantung pada persediaan makanan dan kesempatan-kesempatan
yang disediakan oleh alam. Ia membagi struktur atau sistem evaluasi masyarakat
dalam tiga bagian.
Pertama, sistem
penopang, berfungsi untuk mencukupi keperluan-keperluan bagi ketahanan hidup
anggota masyarakat. Kedua, sistem
mengatur, berfungsi memelihara hubungan-hubungan dengan masyarakat lainnya,
demikian juga mengatur hubungan di antara anggotanya. Ketiga, sistem pembagian, berfungsi mengatur barang-barang dari
satu sistem ke sistem lainnya.
Berkaitan dengan tahaban
evaluasi sosial, ia membagi masyarakat dalam tiga tipe. Pertama, tipe masyarakat primitif. Masyarakat tipe ini belum ada
diferensiasi dan spesialisasi fungsional. Hubungan kekuatan, belum terlihat
jelas. Kerjasama terjadi secara spontan dan didukung oleh hubungan kekeluargaan.
Kedua, tipe masyarakat militan. Pada
tipe ini heterogenitas sudah mulai meningkat karena bertambahnya jumlah
penduduk. Ketiga, tipe masyarakat
industri. Masyarakat industri bercirikan suatu tingkat kompleksitas yang
tinggi, yang tidak lagi dikendalaikan oleh kekuatan negara. Kondisi ini
mengakibatkan individualisasi yang ditandai dengan berkurangnya campur tangan
pemerintah.
2.2.5 Max Weber[7]
Menurutnya,
suatu tindakan manusia disebut tindakan sosial apabila mempengaruhi arti
subjektif. Tindakan ini dihubungkan dengan tingkah laku orang lain dan
diorientasikan kepada kesudahannya. Tindakan sosial merupakan kegiatan individu
dan tidak pernah merupakan tindakan kelompok. Tidak semua kontak dengan manusia
lain, merupakan tindakan sosial. Demikian juga dengan kelakuan masyarakat
dengan individu-individu yang dipengaruhi oleh anggota lainnya secara pasif.
BAB III
PERANAN SEKOLAH
DALAM MENINGKATKAN HUBUNGAN SOSIAL SISWA
Sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal, tempat peserta didik belajar dan guru mengajar.
Di sekolah, peserta didik tidak sekadar menimbah ilmu, tetapi dididik,
dibimbing, dan didewasakan. Peserta didik dibekali dengan nilai-nilai luhur,
tata tertib, sopan santun, tata krama, budi pekerti, serta adat budaya. Semua
itu merupakan program nasional yang sudah diteliti dan dipelajari kebenarannya.
Pada masa lalu, sekolah memiliki nilai plus pada status yang tinggi. Orang yang
sekolah, sangat dihormati dan disegani. Guru dihormati oleh peserta didik dan
masyarakat. Namun jaman sudah berubah. Meskipun ada program pemerintah wajib
belajar, tetapi masih banyak peserta didik yang kurang serius belajar. Banyak
juga peserta didik menjadikan sekolah hanya sebagai formalitas.
Berdasarkan
kenyataan di atas, sekolah sebagai lembaga pendidikan harus serius membenah
diri, supaya akhirnya hadir sebagai lembaga yang mapan dalam menanamkan
nilai-nilai. Dengan demikian peserta didik dapat belajar dengan baik, demikian
juga para peserta didik dapat belajar bersosialisasi antara yang satu dengan
yang lain. Efek lanjutnya adalah jika sekolah benar-benar menggembleng siswanya
secara baik, maka penyimpangan sosial dapat dihindari atau diatasi.
Dalam
kehidupan sehari-hari, interaksi sosial merupakan hal penting. Artinya
kehidupan sosial tampak secara konkret dalam berbagai bentuk pergaulan
seseorang dengan yang lain. kegiatan belajar di sekolah, juga merupakan sebuah
bentuk interaksi. Selanjutnya interaksi sosial merupakan bentuk pelaksanaan
kedudukan masyarakat sebagai makhluk sosial. Artinya berbagai bentuk pergaulan
sosial menjadi bukti betapa manusia membutuhkan kebersaman dengan orang lain.
Interaksi sosial itu terjadi sejak manusia lahir
di dunia. Hal ini erat kaitannya dengan naluri manusia untuk selalu hidup
bersama orang lain dan ingin bersatu dengan lingkungan sosialnya.[8]
Sekolah
harus hadir sebagai sarana yang dapat mengarahkan peserta didik agar dapat
bersosialisasi dengan orang di luar dirinya secara tepat dan benar. Ada
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap interaksi sosial. Pertama, imitasi. Imitasi adalah
tindakan sosial yang meniru sikap, tindakan atau penampilan fisik seseorang
secara berlebihan sebagai suatu proses. Adakalanya imitasi berdampak positif,
apabila yang ditiru tersebut adalah individu-individu yang baik. Imitasi juga
bisa berdampak negatip, apabila yang ditiru itu adalah individu-individu yang
karakternya berlawanan. Kedua,
sugesti, adalah pemberian pengaruh atau pandangan dari satu pihak ke pihak yang
lain. Akibatnya, pihak yang dipengaruhi tergerak mengikuti pengaruh/pandangan
itu.[9]
Ketiga, identifikasi, adalah
kecenderungan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain. Orang
yang menjadi sarana identifikasi disebut idola (sosok yang dipuja).
Identifikasi merupakan bentuk lebih lanjut dari proses imitasi dan sugesti yang
pengaruhnya telah amat kuat. Misalnya seorang remaja mengidentifikasikan
dirinya dengan penyanyi terkenal yang dikagumi. Lalu ia berusaha mengubah
penampilannya agar sama dengan idolanya.
Keempat, simpati, adalah sebuah proses
dimana seseorang merasa tertarik dengan orang lain. Rasa tertarik ini didasari
atau didorong oleh keinginan-keinginan untuk memahami pihak lain, yakni memahmi
perasaannya. Bila dibandingkan dengan ketiga faktor interaksi sebelumnya,
simpati terjadi melalui proses yang lebih lambat. Agar simpati dapat
berlangsung, diperlukan adanya saling pengertian antara kedua belah pihak.
Di
samping itu, adapun syarat-syarat interaksi sosial. Syarat-syarat tersebut
adalah kontak dan komunikasi. Kontak, hanya bisa berlangsung apabila kedua
belah pihak sadar akan kedudukan atau keadaan masing-masing. Artinya kontak
memerlukan kerja sama kedua belah pihak. Di masa modern ini, dengan bantuan
sarana yang semakin canggih, seperti telepon, telegram, radio, surat, sampai
internet, kontak dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Sedangkan komunikasi
itu sendiri adalah suatu proses penyampaian pesan dari satu pihak ke pihak yang
lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya. Pada umumnya,
komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata, yang dapat dimengerti oleh
kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti, maka
komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan. Misalnya:
tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Akan tetapi, komunikasi dapat
efektif apabila pesan yang disampaikan, ditafsirkan sama oleh pihak penerima
pesan tersebut.
Dari
uraian di atas, maka sekolah sebenarnya mempunyai peran yang sangat penting
dalam kehidupan sosial peserta didiknya; karena di sana seseorang akan
mempelajari hal baru yang tidak diajarkan dalam keluarga. Sekolah tidak saja
mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan mempengaruhi
perkembangan intelektual anak, tetapi juga mempengaruhi hal lain seperti
kemandirian, tanggung jawab, dan tata tertib. Robert Dreeben berpendapat bahwa
di sekolah seorang anak harus belajar mandiri. Apabila di rumah seorang anak
mengharapkan bantuan orang tuanya dalam melakukan berbagai pekerjaan, maka di
sekolah sebagian besar tugas harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung
jawab.[10]
BAB IV
KESIMPULAN
Interaksi
sosial adalah sebuah proses dimana orang-orang yang berkomunikasi saling
mempengaruhi dalam alam pikiran dan tindakan. Definisi ini menunjukkan bahwa
dalam interaksi sosial terdapat pengaruh timbal balik antarindividu. Misalnya,
sebuah diskusi yang dilakukan oleh si A dan si B. Jika si A berbicara, maka si
B sebagai pendengarnya. Sebaliknya, jika si B berbicara, si A sebagai
pendengarnya. Dalam diskusi tersebut terjadi proses saling mempengaruhi.
Sekolah
sebagai lembaga pendidikan atau lembaga akademik pun diharapkan demikian.
Sekolah harus hadir sebagai sarana yang pantas bagi para peserta didik dalam
menimbah pengetahuan. Dengan para pendidik dan sarana pendidikan yang ada,
sekolah diharapkan membawa pengaruh bagi perkembangan kepribadian para peserta
didik demi tercapainya kematangan, baik dari segi ilmu pengetahuan, moralitas,
dan sosialitasnya. Karena kita sadar bahwa seorang manusia tidak bisa hidup
seorang diri saja, tetapi kapan dan di manapun ia berada, dia tetap membutuhkan
orang lain sebagai rekan hidupnya.
Jika
sekolah sebagai lembaga pendidikan memberikan yang terbaik bagi para peserta
didiknya, maka sekolah telah memainkan perannya secara tepat den benar. Tetapi,
jika peserta didik berperilaku sebaliknya, maka sekolah perlu mengkaji kembali
apa yang telah dilakukan, agar interaksi sosial itu bisa berjalan secara benar
dalam kehidupan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar