Sabtu, 01 Juni 2013

Makalah Peranan Sekolah dalam Peningkatan Hubungan Sosial Siswa




PERANAN SEKOLAH

DALAM MENINGKATKAN HUBUNGAN SOSIAL SISWA



BAB I

PENDAHULUAN


1.1  Peranan Sekolah
Sekolah adalah sebuah lembaga formal yang mendidik orang-orang demi tercapainya kecerdasan berpikir dan bermoralitas.[1] Orang-orang yang terhimpun dalam lembaga akademik ini, berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang berasal dari keluagra yang tingkat perekonomiannya sudah mapan, sebagian dari perekonomian menengah, dan bahkan ada yang berasal dari keluarga dengan tingkat perekonomian kelas bawah.
Latar belakang lain, misalnya ada yang berasal dari desa dan yang lainnya sudah lama menetap di perkotaan. Hal-hal seperti yang disebutkan di atas turut berpengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang dalam kaitan dengan hubungan sosial, seorang dengan yang lainnya.
Fakta menyebutkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, kontak sosial juga sangat dipengaruhi oleh hal-hal seperti disebutkan di atas. Dapat dikatakan bahwa sebuah korelasi dalam kehidupan sosial turut dipengaruhi oleh latar belakang seseorang. Ada yang mempunyai relasi begitu kental dengan orang lain karena berasal dari kampung yang sama. Ada yang dekat dengan sesamanya yang lain, karena berasal dari tingkat perekonomian yang sama mapannya. Dengan demikian, segala sesuatu dapat dilakukan secara bersama-sama karena kecocokan tersebut.
Berhadapan dengan masalah sosial ini, sekolah sebagai lembaga akademik harus serius dalam memperhatikan  hal ini. Sekolah bukan hanya menjadi sarana demi tercapainya kaum cerdik pandai, melainkan juga mendidik orang agar bisa bermoral secara baik dan benar, dan bisa bersosialisasi dengan yang lain. Sekolah sebagai lembaga formal, harus betul-betul menanamkan nilai-nilai moral untuk saling menghargai satu sama lain. Sekolah juga harus merangkul setiap anak didiknya dengan tidak memilih kasih. Anak didik yang berasal dari latar belakang yang berbeda di atas, harus diberikan perhatian yang sama. Setiap mereka harus mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian, sekolah telah memainkan perannya secara tepat dan benar.

1.2  Hubungan Sosial Siswa
Manusia adalah makhluk sosial. Karena kesosialannya, dan berdasarkan kodratnya, maka ia tidak pernah hidup seorang diri. Manusia harus membutuhkan orang lain agar bisa berinteraksi.  Memerlukan orang lain adalah sebuah kebutuhan mendasar dalam hidup manusia, demi tercapainya kebutuhan yang lain. Upaya manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dilaksanakan melalui suatu proses yang disebut interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok dengan masyarakat.[2]
Peserta didik dalam sebuah lembaga pendidikan pun harus mengalami dan melalui hal yang sama. Dalam menjalankan tugas utamanya ia juga harus berinteraksi dengan orang lain baik itu dengan para pendidik, maupun dengan sesama rekan seperjuanganya. Ia harus belajar untuk mengenal siapakah para pendidiknya, dan siapakah rekan sekerjanya. Dengan demikian, ia akan semakin pasti dalam menjalankan aktivitas keseharianya. Karena di dalam interaksi tersebut, ia memperoleh banyak nilai yang bisa membangun keperibadianya.
Nilai-nilai dimaksud adalah misalnya; pertama, ia disadarkan bahwa manusia harus membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Tidak ada satu orang pun yang hidup sendirian. Kedua, dengan berelasi dengan orang lain, ia belajar mengenal dan memahami karakter kepribadian orang lain. Ketiga, dengan berelasi dengan orang lain, ia semakin diperkaya oleh kelebihan yang dimiliki orang lain. Keempat, dengan berelasi dengan rekan seperjuangan, ia belajar mengenal dan memahami kepribadiannya, khususnya pada tingkat usianya, dengan berbagai persoalan dan konsekuensi yang harus dihadapinya.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengantar
Ada beberapa tokoh yang hadir dengan pola pikir yang cemerlang. Pola pikir atau gagasan yang mereka munculkan kiranya mendukung dan memberikan manfaat bagi kita dalam kehidupan sosial. Para tokoh dan pola pikir mereka itu, adalah seperti di bawah ini.

2.2. Para Tokoh Beserta Teorinya
2.2.1 Aguste Comte[3]
Titik berangkat teorinya adalah Revolusi Prancis. Menurutnya, reorganisasi
masyarakat hanya dapat berhasil,  jika orang mengembangkan cara berpikir yang baru tentang masyarakat. Jika ingin menciptakan masyarakat yang adil, maka harus ada kesepakatan tentang dasar-dasarnya. Dasar-dasar itu hanya dapat dicapai apabila ada suatu metode yang dapat diandalkan sehingga hasil-hasilnya meyakinkan setiap orang.
Menurutnya, ada tiga tahap perkembangan cara berpikir. Pertama, tahap teologis. Pada tahap ini orang suka dengan pertanyaan yang tidak dapat dipecahkan, yaitu tentang hal-hal yang tidak diamati. Kedua, tahab metafisis. Pada tahab ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sama dicari jawabannya pada hal-hal abstrak yang diibaratkan sebagai essensi (hakikat) atau eksistensi (keberadaan). Ketiga, tahab positif. Pada tahab ini manusia mulai mencari jawaban yang tidak mutlak dengan gejala-gejala yang muncul.


2.2.2 Emile Durkheim[4]
            Pola pikirnya terpengaruh oleh tradisi para pemikir bangsa Prancis dan Jerman. Ia sependapat dengan Montesquieu, bahwa orang-orang memerlukan aturan kolektif  bagi perilaku yang mereka interaksikan adalah proses pendidikan. Dalam kaitan dengan solidaritas sosial, ia mengatakan bahwa pembagian kerja yang berkembang  pada masyarakat tidak mengakibatkan disintegrasi, tetapi justru meningkatkan solodaritas karena bagian-bagian dari masyarakat menjadi saling tergantung satu sama lain. Ia membagi dua tipe utama solidaritas. Pertama, solodaritas mekanis. Tipe solidaritas ini didasarkan atas persamaan. Dalam tipe masyarakat ini, semua masyarakat mempunyai kesadaran kolektif yang sama. Kedua, solidaritas organis. Tipe ini didasarkan atas keragaman fungsi-fungsi kepetingan keseluruhan. Setiap orang memiliki cirinya masing-masing. Oleh karena itu, ada saling ketergantungn yang besar sehingga mengharuskan adanya kerja sama.

2.2.3 Karl Marx[5]
            Sumbangan Karl Marx bagi perkembangan ilmu sosial terletak pada teori mengenai kelas. Ia mengatakan bahwa sejarah masyarkat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas. Ia membagi kelas itu menjadi dua bagian. Pertama, kaum borjuis (Kaum kapitalis), adalah kelas yang terdiri dari orang-orang yang menguasai alat-alat produksi dan modal. Kedua, kaum proletar, adalah kelas yang terdiri dari orang-orang yang tidak mempunyai alat produksi dan modal, sehingga diekploitasi untuk kepentingan kaum kapitalis.
            Menurutnya, pada sustu saat kaum proletar akan menyatakan kepentingan bersama mereka, sehingga bersatu dan memberontak terhadap kaum kapitalis. Mereka akan memperoleh kemenangan, yang akan mengakibatkan terhapusnya pertentangan kelas.


2.2.4 Herbert Spencer[6]
            Menurutnya, fakta pertama yang penting dalam proses evaluasi sosial adalah peningkatan jumlah penduduk. Pertumbuhan ini tergantung pada persediaan makanan dan kesempatan-kesempatan yang disediakan oleh alam. Ia membagi struktur atau sistem evaluasi masyarakat dalam tiga bagian. 
Pertama, sistem penopang, berfungsi untuk mencukupi keperluan-keperluan bagi ketahanan hidup anggota masyarakat. Kedua, sistem mengatur, berfungsi memelihara hubungan-hubungan dengan masyarakat lainnya, demikian juga mengatur hubungan di antara anggotanya. Ketiga, sistem pembagian, berfungsi mengatur barang-barang dari satu sistem ke sistem lainnya.
Berkaitan dengan tahaban evaluasi sosial, ia membagi masyarakat dalam tiga tipe. Pertama, tipe masyarakat primitif. Masyarakat tipe ini belum ada diferensiasi dan spesialisasi fungsional. Hubungan kekuatan, belum terlihat jelas. Kerjasama terjadi secara spontan dan didukung oleh hubungan kekeluargaan. Kedua, tipe masyarakat militan. Pada tipe ini heterogenitas sudah mulai meningkat karena bertambahnya jumlah penduduk. Ketiga, tipe masyarakat industri. Masyarakat industri bercirikan suatu tingkat kompleksitas yang tinggi, yang tidak lagi dikendalaikan oleh kekuatan negara. Kondisi ini mengakibatkan individualisasi yang ditandai dengan berkurangnya campur tangan pemerintah.

2.2.5 Max Weber[7]
            Menurutnya, suatu tindakan manusia disebut tindakan sosial apabila mempengaruhi arti subjektif. Tindakan ini dihubungkan dengan tingkah laku orang lain dan diorientasikan kepada kesudahannya. Tindakan sosial merupakan kegiatan individu dan tidak pernah merupakan tindakan kelompok. Tidak semua kontak dengan manusia lain, merupakan tindakan sosial. Demikian juga dengan kelakuan masyarakat dengan individu-individu yang dipengaruhi oleh anggota lainnya secara pasif.


BAB III
PERANAN SEKOLAH
DALAM MENINGKATKAN HUBUNGAN SOSIAL SISWA

            Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal, tempat peserta didik belajar dan guru mengajar. Di sekolah, peserta didik tidak sekadar menimbah ilmu, tetapi dididik, dibimbing, dan didewasakan. Peserta didik dibekali dengan nilai-nilai luhur, tata tertib, sopan santun, tata krama, budi pekerti, serta adat budaya. Semua itu merupakan program nasional yang sudah diteliti dan dipelajari kebenarannya. Pada masa lalu, sekolah memiliki nilai plus pada status yang tinggi. Orang yang sekolah, sangat dihormati dan disegani. Guru dihormati oleh peserta didik dan masyarakat. Namun jaman sudah berubah. Meskipun ada program pemerintah wajib belajar, tetapi masih banyak peserta didik yang kurang serius belajar. Banyak juga peserta didik menjadikan sekolah hanya sebagai formalitas.
            Berdasarkan kenyataan di atas, sekolah sebagai lembaga pendidikan harus serius membenah diri, supaya akhirnya hadir sebagai lembaga yang mapan dalam menanamkan nilai-nilai. Dengan demikian peserta didik dapat belajar dengan baik, demikian juga para peserta didik dapat belajar bersosialisasi antara yang satu dengan yang lain. Efek lanjutnya adalah jika sekolah benar-benar menggembleng siswanya secara baik, maka penyimpangan sosial dapat dihindari atau diatasi.
            Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi sosial merupakan hal penting. Artinya kehidupan sosial tampak secara konkret dalam berbagai bentuk pergaulan seseorang dengan yang lain. kegiatan belajar di sekolah, juga merupakan sebuah bentuk interaksi. Selanjutnya interaksi sosial merupakan bentuk pelaksanaan kedudukan masyarakat sebagai makhluk sosial. Artinya berbagai bentuk pergaulan sosial menjadi bukti betapa manusia membutuhkan kebersaman dengan orang lain.
Interaksi sosial itu terjadi sejak manusia lahir di dunia. Hal ini erat kaitannya dengan naluri manusia untuk selalu hidup bersama orang lain dan ingin bersatu dengan lingkungan sosialnya.[8]
            Sekolah harus hadir sebagai sarana yang dapat mengarahkan peserta didik agar dapat bersosialisasi dengan orang di luar dirinya secara tepat dan benar. Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap interaksi sosial. Pertama, imitasi. Imitasi adalah tindakan sosial yang meniru sikap, tindakan atau penampilan fisik seseorang secara berlebihan sebagai suatu proses. Adakalanya imitasi berdampak positif, apabila yang ditiru tersebut adalah individu-individu yang baik. Imitasi juga bisa berdampak negatip, apabila yang ditiru itu adalah individu-individu yang karakternya berlawanan. Kedua, sugesti, adalah pemberian pengaruh atau pandangan dari satu pihak ke pihak yang lain. Akibatnya, pihak yang dipengaruhi tergerak mengikuti pengaruh/pandangan itu.[9]
            Ketiga, identifikasi, adalah kecenderungan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain. Orang yang menjadi sarana identifikasi disebut idola (sosok yang dipuja). Identifikasi merupakan bentuk lebih lanjut dari proses imitasi dan sugesti yang pengaruhnya telah amat kuat. Misalnya seorang remaja mengidentifikasikan dirinya dengan penyanyi terkenal yang dikagumi. Lalu ia berusaha mengubah penampilannya agar sama dengan idolanya.
            Keempat, simpati, adalah sebuah proses dimana seseorang merasa tertarik dengan orang lain. Rasa tertarik ini didasari atau didorong oleh keinginan-keinginan untuk memahami pihak lain, yakni memahmi perasaannya. Bila dibandingkan dengan ketiga faktor interaksi sebelumnya, simpati terjadi melalui proses yang lebih lambat. Agar simpati dapat berlangsung, diperlukan adanya saling pengertian antara kedua belah pihak.
            Di samping itu, adapun syarat-syarat interaksi sosial. Syarat-syarat tersebut adalah kontak dan komunikasi. Kontak, hanya bisa berlangsung apabila kedua belah pihak sadar akan kedudukan atau keadaan masing-masing. Artinya kontak memerlukan kerja sama kedua belah pihak. Di masa modern ini, dengan bantuan sarana yang semakin canggih, seperti telepon, telegram, radio, surat, sampai internet, kontak dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Sedangkan komunikasi itu sendiri adalah suatu proses penyampaian pesan dari satu pihak ke pihak yang lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata, yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti, maka komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan. Misalnya: tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Akan tetapi, komunikasi dapat efektif apabila pesan yang disampaikan, ditafsirkan sama oleh pihak penerima pesan tersebut.
            Dari uraian di atas, maka sekolah sebenarnya mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial peserta didiknya; karena di sana seseorang akan mempelajari hal baru yang tidak diajarkan dalam keluarga. Sekolah tidak saja mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan mempengaruhi perkembangan intelektual anak, tetapi juga mempengaruhi hal lain seperti kemandirian, tanggung jawab, dan tata tertib. Robert Dreeben berpendapat bahwa di sekolah seorang anak harus belajar mandiri. Apabila di rumah seorang anak mengharapkan bantuan orang tuanya dalam melakukan berbagai pekerjaan, maka di sekolah sebagian besar tugas harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.[10]
           
             


BAB IV
KESIMPULAN

            Interaksi sosial adalah sebuah proses dimana orang-orang yang berkomunikasi saling mempengaruhi dalam alam pikiran dan tindakan. Definisi ini menunjukkan bahwa dalam interaksi sosial terdapat pengaruh timbal balik antarindividu. Misalnya, sebuah diskusi yang dilakukan oleh si A dan si B. Jika si A berbicara, maka si B sebagai pendengarnya. Sebaliknya, jika si B berbicara, si A sebagai pendengarnya. Dalam diskusi tersebut terjadi proses saling mempengaruhi.
            Sekolah sebagai lembaga pendidikan atau lembaga akademik pun diharapkan demikian. Sekolah harus hadir sebagai sarana yang pantas bagi para peserta didik dalam menimbah pengetahuan. Dengan para pendidik dan sarana pendidikan yang ada, sekolah diharapkan membawa pengaruh bagi perkembangan kepribadian para peserta didik demi tercapainya kematangan, baik dari segi ilmu pengetahuan, moralitas, dan sosialitasnya. Karena kita sadar bahwa seorang manusia tidak bisa hidup seorang diri saja, tetapi kapan dan di manapun ia berada, dia tetap membutuhkan orang lain sebagai rekan hidupnya.
            Jika sekolah sebagai lembaga pendidikan memberikan yang terbaik bagi para peserta didiknya, maka sekolah telah memainkan perannya secara tepat den benar. Tetapi, jika peserta didik berperilaku sebaliknya, maka sekolah perlu mengkaji kembali apa yang telah dilakukan, agar interaksi sosial itu bisa berjalan secara benar dalam kehidupan sosial.



[1] Kun Muryati-Juju Suryawati, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas X (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 106.
[2] Pabundu Tika-Amin-Andi Sopandi-Mita Widyastuti, Sosiologi (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 93.
[3] Idianto M, Sosiologi SMA Kelas X (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 16.
[4] Idianto M, Sosiologi..., hlm. 17.
[5] Kun Muryati-Juju Suryawati, Sosiologi... , hlm. 125.
[6] Idianto M, Sosiologi..., hlm. 18.
[7] Pabundu Tika-Amin-Andi Sopandi-Mita Widyastuti, Sosiologi..., hlm. 21.
[8] Kun Muryati-Juju Suryawati, Sosiologi... , hlm. 106.
[9] Kun Muryati-Juju Suryawati, Sosiologi... , hlm. 61-63.
[10] Kun Muryati-Juju Suryawati, Sosiologi... , hlm. 107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar